Tulisan seorang mahasiswa setelah nonton Film
Soegija Film Soegija: Napak Tilas Bangsa Penulis: Agatha Gisela Jenni Anggita
"Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya,
berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua
merupakan keluarga besar. Satu keluarga besar, dimana anak-anak masa depan
tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata
bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian, dan permusuhan." (Mgr.
Albertus Soegijapranata, SJ) Apa yang dapat saya katakan usai menonton film
kolosal garapan Garin Nugroho tgl 29 Mei 2012? Saya speechless. Dialog yang
bagai mutiara bermunculan satu per satu, mengharukan, sekaligus sarat makna.
Pesannya beragam, mulai dari kebangsaan, keimanan, kemanusiaan,
multikulturalisme, dan feminisme. Begitu soft, namun menghanyutkan. Mengalir
sekali, sampai-sampai kalau tidak dihayati, film ini tidak akan benar-benar
bermakna. Menonton film ini bagai proses napak tilas melihat perjalanan bangsa
tahun 1940-1949. Mungkin beberapa dari Anda yang belum menonton menunggu-nunggu
bagaimana kekejaman Belanda dan Jepang dalam film ini terlukiskan. Tentunya
tidak, karena kekejaman yang dialami rakyat Indonesia di masa lalu karena
penjajahan tentunya tidak akan dapat terlukiskan dengan begitu hebatnya di masa
sekarang. Kita hanya dapat membayangkannya lewat tulisan perihal sejarah. Film
ini berbicara dalam suara yang lain, dalam sudut pandang yang lain.
Bukan hendak menampilkan kebencian atau
kekerasan atau perang pada saat itu. Indonesia pada saat itu, belum merdeka.
Merdeka dalam arti sesungguhnya. Mungkin saat sekarang ini pun masih ada yang
mengatakan belum sepenuhnya merdeka. "Apa artinya terlahir sebagai bangsa
yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri?" Begitu kata Soegija
dalam buku hariannya. Perannya dalam masa-masa sulit ketika menjadi Uskup
sungguh luar biasa. Dia hadir sangat penting ketika bangsa ini memproklamirkan
kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa. Kehadiran tersebut bukan kehadiran dalam
fisik. Melainkan kehadirannya dalam berdiplomasi serta keterlibatannya dalam
peristiwa-peristiwa pra dan pascakemerdekaan. Ia berdiri tegar, ikut berusaha
bersama bangsa ini di saat kelahirannya. "Jika rakyat kenyang, biar para
imam yang terakhir kenyang. Bila rakyat kelaparan, biar para imam yang pertama
kelaparan." Soegija memang pantas diberi gelar pahlawan. Bukan hanya
karena dia seorang rohaniawan, tetapi juga karena teladan dan pesan kemanusiaan
yang dibawanya. Kritik sosial lewat dialog-dialog menggigit cocok ditujukan
untuk pemimpin bangsa ini. Film ini merupakan karya anak bangsa untuk bangsa.
Jauh dari isu-isu kristenisasi atau semacamnya. Percayalah, kalau pun tidak
tontonlah. Garin di sambutannya begitu memukau dengan kalimat-kalimatnya yang mencerahkan.
Katanya, kurang lebih, buatlah film tentang agamamu, bebaslah berekspresi, dan
berkreativitas. Ketika kebebasan berekspresi dan berkreativitas masih dikurung
artinya memang kita belum benar-benar merdeka. Agama seharusnya menjadi jalan
untuk melihat banyak hal dari sudut pandang beragam dan luas, bukan sebaliknya.
Saya tercengang dengan dialog yang bercampur-campur, ada bahasa Jawa, bahasa
Indonesia, bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa Inggris. Hal itu sangat khas
dan patutlah diacungi jempol bagi penulis naskah yang dengan berani dan hebat
dapat menampilkan multikulturalisme lewat bahasa. Pemakaian bahasa ini terasa
pas dan menggambarkan bangsa kita saat itu. Artistik dan sinematografi yang
khas Garin pun sangat terasa. Pada beberapa adegan kalian akan dibuat berdecak
kagum dengan latar luar biasa: senja dengan para prajurit membawa tombak
menaiki bukit hendak bergerilya. Musiknya? Hmmm... Jangan ditanya, siapa yang
menyangsikan Djaduk coba? Musiknya menjadi teman yang begitu asyik. Pastinya ingin
dimiliki oleh kita usai menonton. Salah satunya lagu Tanjung Perak yang dibuat
versi Belandanya di film itu. Saya jadi bertanya-tanya, mana duluan Belanda
dalam film atau lagu Tenjung Perak? Di samping bercerita tentang peran Soegija
membantu rakyat yang kelaparan dan terluka akibat perang, terselip kisah cinta
antara ibu (yang diperankan Olga Lydia) dan anaknya Ling-Ling (Andrea Reva).
Mereka keturunan Tionghoa yang membantu menyediakan makanan bagi Soegija.
Pertanyaan mengiris terlontar dari sang anak yang menanyakan perihal dirinya
kepada Sorgija, "apa karena kami Tionghoa?" Dengan bijak Soegija
menjawab, "kita tidak pernah tahu dan minta terlahir sebagai orang apa,
Jawakah, Tionghoakah, dst..." Berakhir bahagia, Ling-Ling yang terpisah
dari ibunya bertemu kembali di Gereja ketika Ling-Ling sedang berdoa diiringi
musik dansa kesukaannya dengan ibunya. Seorang tentara Jepang Nobuzuki,
(Suzuki), yang hendak menduduki Gereja Randusari, dilawan dengan kata-kata oleh
Soegija, "Ini adalah tempat suci, saya tidak akan memberi izin. Penggal
dulu kepala saya, baru tuan boleh memakainya." Mereka pun pergi. Dari sisi
Nobuzuki kita tidak melihat kekejaman di perbuatannya. Melainkan perasaan iba
karena perintah mengharuskan dirinya berperang. Terlukiskan di perannya, betapa
dia sangat mencintai keluarganya, betapa rindunya dia pada anak-anaknya. Saya
ingat kata teman saya, usai kemerdekaan Indonesia , Belanda dan Jepang seperti
hendak menyimpan rapat-rapat bahwa mereka pernah menjajah. Orang-orang yang
kembali ke sana usai perang seolah tak diakui. Mereka pun punya rasa bersalah
dan malu karena perbuatan mereka. Pada bagian ini saya memang merasakan agak
kurang greget, tapi pesannya tetap sampai yaitu, kisah tentang Mariyem (Annisa
Hertami) yang terpisah dengan Maryono (Abe). Maryono meninggalkan Mariyem untuk
ikut serta berperang. Dengan pesan tunggu aku dan aku akan melihat kamu jadi
perawat berakhir dengan tragis. Mariyem menemukan Maryono meninggal. Di tengah
proses menunggu Mariyem menjadi perawat, mencatat orang hilang, merawat yang
sakit. Hendrick (Wouter Braaf), seorang fotografer asal Belanda, berkali-kali
ditolak Mariyem. Berkali-kali dengan alasan bangsamu itu yang membuat kami
seperti ini. Jika Soegija melindungi Gereja dengan kata-kata seperti di atas,
Mariyem melindungi rumah sakit dengan kalimat berbeda. Ketika rumah sakit
diserang oleh pimpinan tentara Belanda, Robert (Wouter Zweers), Mariyem
membela, "Saya Maria, ibu dari orang-orang yang sakit di sini. Saya yang
bertanggung jawab atas tempat ini. Di sini tidak ada lawan, tidak ada sekutu,
di sini hanya ada kawan." Bisa dibayangkan, setiap orang di sana mengambil
bagian dengan cara berbeda-berbeda. Perempuan pun pada masa itu, tidak melulu
di kamar. Akan tetapi, ikut serta dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan.
Robert yang mengklaim dirinya hanyalah "mesin perang" menemukan
kerinduan ketika melihat bayi yang ayahnya telah dia bunuh. Baik Robert atau
Nobuzuki berakhir di tangan para pejuang kemerdekaan kita. Jika dianalisis
dengan pendekatan postkolonial tentu akan menghasilkan kekompleksan psikologi
antartokoh di dalamnya. Peran tokoh sampingan dalam film ini pun kuat. Kita
melihat Butet yang berperan sebagai koster, pembantu Soegija, dengan dialog
khas pembantu yang cukup membuat penonton tertawa geli. Namun, tetap terasa
menggigit karena kritik sosial perihal kepemimpinan hendak ditonjolkan di sana
. Lain lagi dengan seorang pejuang kecil yang membuat penonton geli. Berulang
kali dia diajarkan membaca yang dia tahu hanyalah mengeja tulisan
m-e-r-d-e-k-a. Dialognya yang menyentil dalam salah satu adegan ketika dia
berkata kepada kawannya, yang mengajarinya membaca, "Orang pinter malah
ngambil uang rakyat." Apalagi yang dapat saya katakan, tontonlah dan
rasakanlah. Agama dan bangsa keduanya ternyata dapat berjalan beriringan.
Berjalan beriringan demi kemanusiaan (demi humanisme) dengan memperjuangkan
nilai-nilai universal yaitu cinta kasih. Bukan berusaha mencampur aduk
keduanya. Menjadi 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia . Begitu pun yang lain,
jadilah 100% Islam, 100% Indonesia, atau 100% Budha, 100% Indonesia, atau 100%
Hindu, 100% Indonesia, atau 100% Kristen, 100% Indonesia, atau 100% Konghuchu,
100% Indonesia, dsb.. (faith, hope, love, (dan yang terbesar adalah kasih)
Tabik. Markus Yumartana, SJ.