google-site-verification=ydrwj_TcX7EKVuIoCDu-3scwDwIHaXOT828Be0zpAR8 MANUSIA PEMBELAJAR: 2013

Friday 22 November 2013

PROLOQUE



Di antara semak-semak dan dedaunan, ku rebahkan kelelahanku di atasnya… Cerahnya langit dengan matahari yang sedikit redup membuatku dapat memandangi luasnya dunia atas yang kulihat itu… Ku pandangi langit biru yang penuh dengan awan lucu.

Mereka berwarna sama tetapi beragam bentuknya. Mereka membuatku berangan-angan dan berusaha menebak dalam wujud apakah mereka sekarang..

Tunggu.. Salah satu awan itu berbentuk wajah! Apa ini hanya khayalanku saja? “Mirip seseorang.. Hehe..”, kataku dalam hati.

Kurun waktu sedetik, tapak kaki seseorang mulai terdengar. Terasa sekali langkahnya.. Ia muncul dari belakang pohon cherry di belakangku. Menutupi langit yang kupandang dan mengalihkan tatapanku. Aku pun tersenyum padanya…

  

Cherry 1


“Yuri! Ayo bangun! Kau tidak mau berangkat ke sekolah ya?”

“Uhh.. Ya, Ma..”, kataku pelan. Malas sekali rasanya aku hari ini, inginku berbaring saja menikmati sepoinya angin dari AC ku. “Tapi, bukannya aku memang pemalas ya? Hahaha.”, tawaku dalam hati. Aku pun menatap jam bekerku perlahan.

“ASTAGA!!!!! Sudah jam 6 lewat 15!!” Aku bergegas ke kamar mandi dan mandi seadanya. Mengeringkan diri dan memakai baju secepat kilat. Dalam hitungan detik, kuturuni tangga kayu dari lantai 4 ke lantai 2. Hebat, aku tak menyangka aku mempunyai bakat menuruni tangga tercepat tanpa terpeleset sedikit pun. Secepatnya, aku memanggil papaku untuk mengantar aku ke sekolah.

“Brrrrmmmmm!!”, aungan motor Yamaha King papaku. Ya,ya,ya.. Bukannya aku sombong, tapi aku sudah merasakan bagaimana rasanya menaiki motor setipe F1 milik papaku ini setiap hari. Aku tak pernah memegang pinggang papaku selama dibonceng olehnya. Perjalananku ke sekolah dengan si “King” inipun dimulai.

Melewati motor demi motor, mobil demi mobil, mikrolet gila yang ‘ngetem’ di tengah jalan, gerobak, dan becak-becak yang parkir sembarangan. Sampailah aku di lampu merah, ternyata papa sama sekali tak sabaran, si ‘King’ pun dilaju dengan kecepatan 100 km/jam menembus lalu lintas. Tak menghiraukan pos polisi yang sudah ‘stand by’ di pinggir jalan layang. Papa pun terus mengebut sampai ke sekolahku, bak pembalap rally. Aku hanya bisa berserah pada Tuhan…

Mulutku mengembang karena kemasukkan ‘ac alam’, rambut yang sudah disisir rapi pun jadi acak adul tak karuan terhantam angin kencang setelah naik si ‘King’.
Dapatkah kau membayangkan bagaimana tampang diriku setelah aku sampai di halaman sekolah? “Abstrak.”

Aku pun merapikan diriku sebisanya seraya berjalan menuju gedung SMA. Ku lihat 2 guru sudah duduk di depan gedung layaknya seorang algojo. Aku pun menyapa, “Selamat pagi, Pak, Bu”. Sapaanku memang singkat, ya agar aku bisa cepat-cepat naik ke atas dan tetap terlihat sebagai siswi SMA teladan.

Setelah menaiki tangga, aku menghela napas. “Capek juga ya.. Kenapa anak tangga sekolah sebegini banyaknya? Kebanyakan duit kayaknya.” Syukurlah aku tak terlambat ke sekolah. Ku percepat jalanku menuju kelas. Ku buka pintu kelas dan melihat teman-temanku menatapku dari ujung rambut sampai ujung kepala. Saat aku berjalan ke dalam pun, aku masih ditatap oleh mereka. Wah, kurasa aku terlihat cantik hari ini, hingga mereka terpesona pada kecantikanku. Hahaha.

“Yuri! Seleting rokmu tuh!”, kata salah satu temanku. “Hah?!”, tanyaku dengan tercengang. Astaga, seleting rokku terbuka dengan lebarnya, mungkin kecoak pun dapat masuk. “Gila.. Ada apa denganku hari ini?”, bisikku dalam hati. DUH, MALU SEKALI!!!!! Quotes yang kudapat hari ini adalah “Jangan gampang kegeeran.”

“Fiuhhh.”, helaan napasku yang panjang pun keluar. Teman sebangkuku tiba-tiba menutup hidungnya. “Sialan!”, gertakku  dengan sedikit tawa padanya. Pelajaran pertama hari ini adalah sejarah. Ya, ya, ya…  Sekolah ini terlalu rajin dibandingkan diriku yang amat pemalas ini. Sejarah yang di sekolah lain hanya 1 jam, tapi di sekolahku? 3 jam pelajaran! Terlalu hebat. Sekolah ini terlalu mencintai nostalgia akan makhluk purba yang tak jelas wajahnya.

15 menit pertama kulewati… 20 menit sudah kulalui… 25 menit sudah kusebrangi….

“Zzzzzzzz………”

“Hansen, bangunkan temanmu itu, SEKARANGGGGG!!!”, teriak si guru sejarah betina itu. “IYAAAA, BU! Eh, iya, Bu!”, jawab Hansen terkaget-kaget. 1 kelas pun menertawakannya. Maklum ia memang agak sedikit latah.

“Yuri… Bangun dong. Serem gue sama si Ibu Betina……”, bisik Hansen ke telingaku dengan pelan. Tapi, aku masih belum ingin terbangun. Aku masih terbuai dengan mimpi indahku kini. Aku sedang candle-light dinner dengan cowok impianku. Hehehe..

“Ya ampun. Yuri! Buku gue basah nih! Lu pake buat bantal. Iler semua yang gue dapet!”, gerutu Hansen agak keras. Sekali lagi, dia ditertawakan oleh teman-teman. “YURIIIIIIIIIIIIIII!!!!!”. Ibu Betina mulai berdiri, merangkak, mengaung, melolong, dan apalah itu. Intinya, dia marah besar. Aku pun bangun dengan sangat cepat dan reflek aku berdiri, lalu meminta maaf. “Ibu, maaf ya. Saya tak akan mengulanginya lagi. Janji deh… Yahh?? Ibu.. Ayolah, Bu…”, rayuku dengan mata berbinar-binar dengan liur yang masih agak membekas di pipiku.

“Cuci mukamu dulu sana!”, jawab Ibu Betina. Sebenarnya, nama Ibu  Sejarah itu bukan Betina, tapi Tina.. Hahaha, tapi namanya sudah sering dipelesetkan olehku dan teman-teman lainnya. Aku pun kembali ke kelas, setelah mencuci mukaku. Ya, ya, ya.. Aku sudah cling lagi sekarang.

“Ayo, kita lanjutkan.”, kata Bu Tina.

“Tring.. Tring.. Tringggg…”, bel tanda pelajaran selesai sudah berbunyi.

“Hahahahahaha.. Aku memang hebat!”, kataku dengan bangga dalam hati. Aku tersenyum tanpa sengaja dan Hansen melihatku. “Dasar lu. Kasian tau 1 jam pelajaran dia habis CUMA buat bangunin elu doang.”, gerutu Hansen si anak rajin. “Iya, rajinnn… Udah deh. Lu kan tau gue ga suka pelajaran Sejarah.”, sahutku dengan nada lantang. “Bukannya lu ga suka semua pelajaran ya? Hahaha.” , ejek Hansen. “Hih! Keki deh gue sama elu! Jangan terlalu jujur dong.”, jawabku padanya.

“Bersiap. Berdiri. Beri salam kepada Ibu Guru.”, teriak sang ketua kelas dengan lantang. Seluruh murid pun memberi salam, “Selamat pagi, Ibu..”, kecuali aku. Ya, ya, ya. Aku sangat MALAS menyapa orang yang tak ramah padaku, terutama si guru Bahasa Jepang ini.

Ohayo, minna-san…”, sapa si Jepang. “Ohayo…”, tanggap beberapa murid padanya. “Yuri, doushita no?”, tanya si Jepang padaku tiba-tiba. Hieeeyyyy. Ini adalah pertanda buruk. Sekali si Jepang fokus bertanya pada salah satu murid, maka sampai akhir pelajaran ia akan sering mendesak murid itu untuk menjawab pertanyaannya dengan bahasa Jepang yang ia ajari dengan tidak jelas. Aku pun dengan relevan menjawab, “Sorry. I don’t speak Japanese. Could you please ask the other students?”, dan aku mengucapkannya dengan sangat lancar dan keren.

 “Yuri, doushita no?”, tanya si Jepang sekali lagi. Benar-benar gila, dia tak mau menyerah. “Good bye.”, itulah kata terakhirku untuknya. Kali ini, giliranku yang ditertawakan teman-teman. Hansen saja sampai terpingkal-pingkal.

“HAHAHAHAHA. Puas sekali saya mengerjai kamu hari ini. Makanya, kamu tuh jadi anak yang rajin dong. Nama Yuri, Jepang banget. Tapi, kelakuan, kebiasaan, sama perkataan kamu itu NOL BESAR.”, sindir si Jepang dengan sangat tajam.
(*doushita no = ada apa?)

“Oh, menusuk jantungku.. Ohhhh…” Hansen mulai bertingkah menjijikkan di depanku dan seakan-akan berbicara tentang isi hatiku yang ku ekspresikan lewat wajahku ini.
Tapi, aku memang sudah tak tahan lagi mendengar celotehannya yang tak ada sangkut pautnya antara kelakuanku dan namaku.

“Ibu Amano, sebaiknya ibu harus menjaga diri Ibu agar tetap ‘aman’. Karena saya sudah capek mendengar cibiran Ibu yang menusuk hati itu dan saya tidak akan tinggal diam. Saya akan menunggu di depan gerbang, menghajar, mencabik-cabik, menggigit, sampai mengigau pun akan saya lakukan kepada Ibu!” Hansen mulai gila lagi, sok menyuarakan isi hatiku dengan berbisik-bisik.

“Eh, kalau lu berani jangan bisik-bisik. Frontal aja, coyy.”, sahutku pelan.

“Enak aja, ini kan masalah lu bukan masalah gue. Weeqq..”, jawab Hansen.

“C-E-M-E-N!!”, cibirku padanya.

“Yuri!!!”. Sekali lagi, kudengar teriakan guru kepadaku hari ini. Ya, ya, ya.. Kita lihat apa yang akan ia katakan. “Kamu tuh ya, saya sindir, tapi kamu ga berasa. Kamu malah main bisik-bisikkan sama Hansen. Udah saya pelototin 15 menit, kamu masih ga sadar. Mata saya sakit tauuu!”, omel Ibu Amano.

“Ibu, nama saya boleh Yuri, tapi saya tidak suka bahasa Jepang sama sekali. Apakah belajar di sini itu harus dipaksa? Namanya saya nggak suka ya mau gimana lagi?”, sahutku dengan nada rendah. “Keluar dari sini sekarang juga atau saya panggil satpam?”, tanya Ibu Amano. “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!!!”, semua murid tertawa terbahak-bahak.
“Kagak salah, Bu? Ibu tuh lagi jadi guru di sekolah Strachella, bukan direktur di perusahaan Yuzu!”, sahut si preman kelas. Sebut saja dia Lenka. Lenka itu wanita. Aku tekankan lagi. Dia itu wanita.

“Iya, maaf Ibu salah bicara. Yuri, kamu pergi ke perpustakaan sekarang, dan baca buku di sana sampai jam pulang. Mengerti?”, tanya Ibu Amano.

“Iya, Ibu Aman….”, jawabku lirih. “APA? Tadi kamu panggil nama saya apa?”, teriak Bu Amano. “Waduh, kok bisa kedengeran yah?”, tanyaku dalam hati. “Saya panggil Ibu Amano, kok.. Masa iya sih Ibu nggak kedengeran?”, rayuku guna menutupi kata-kataku tadi.

“Udah sana kamu ke perpus!”

Aku pun pergi ke perpustakaan sekolah Strachella yang tak seberapa jauh dari kelasku. Yah hanya 4 langkah saja.. Hahahahaha. Aku pun sampai di perpustakaan Strachella. Perpustakaan ini memang jadi kebanggaan sekolahku, karena mendapatkan penghargaan berkali-kali dari negara atas kerapian penataan buku-buku dan sejenisnya, juga luas perpustakaan ini sebesar aula sekolah, buku-bukunya juga sangat lengkap. Hebat, kan?? Ahh, aku ngelantur lagi sekarang dengan sok mempromosikan sekolahku, padahal prestasiku sama sekali tak ada apa-apanya dibanding sekolahku yang indah dan terpandang ini.

Aku pun masuk dan melihat ke sekeliling ruangan. Tak ada orang kecuali si pustakawati yang masih betah bekerja di perpus ini selama 30 tahun. Sebersit bayangan orang yang sedang berjalan melewati punggungku. Aku membalikkan badanku. Tak ada seorang pun. Aku menghiraukannya dan terus berjalan mencari buku yang bagus di sela-sela rak komik. “Kenapa sepi sekali ya…”, tanyaku dalam hati. Aku tak suka sendirian dalam ruangan yang besar ini. Aku benar-benar tak suka sendirian. Secercah ketakutanku mulai muncul dan semakin membesar. Kulihat sesosok bayangan hitam dari balik rak ensiklopedia. Tinggi, kurus, dan terlihat melayang.. Ia tak menapakkan kaki di lantai..

“Hieeeeeyyyyy!!”, teriakku dalam hati. Paranoidku muncul lagi. Setiap kali, aku berada di tempat yang sangat sepi pasti akan selalu begini. Aku takut, aku takut, aku takut sekali! Aku sudah merasakan hal ini sejak SD. Aku benar-benar ketakutan sekarang. Kuambil 1 buku memasak yang besar tepat di samping rak komik, kututupi kepalaku dengan buku itu, dan aku duduk dengan terkulai lemas di lantai. Kini kudengar tapak kaki yang hampir samar-samar mendekatiku. Suara tapak kaki itu sangat menyeramkan. Mendecit dan menghilang… Aku sama sekali tak mau membuka mata. Aku takut. Aku takut sekali…

“Ssssshhhhhh…”

Suara desahan yang amat seram menyusupi telingaku.

“Hieeeyyyyyyy!!!!”, aku berteriak lagi meskipun dalam hati. Wajahku sudah tak karuan lagi bentuknya. Tangisku tak terelakkan. Aku sangat gemetaran. Paranoidku sudah tak terbendung. Keringat dingin mulai mengucur keluar bak banjir bandang.
Aku sudah tak tahan lagi dan ku beranikan diriku untuk berbicara dengan isak tangisku yang masih terasa, “Hiks… Hiks… Hiks… Aku mohon. Jangan ganggu aku. Aku takut sekali… Aku takkan menganggumu. Silahkan membaca sepuasnya di sini. Tolonglah hantu, jangan makan a…...”

Mulutku dibungkam dengan tangan hantu itu. Tangannya lebih besar dari milikku. Aku yakin dia adalah laki-laki. Aku masih tak mau membuka mataku. Aku takut sekali…..



“Hei, kau. Siapa yang kau maksud dengan hantu, hah? Enak aja. Gue manusia. Dari tadi gue ngeliatin lu jalan keliling perpus. Lu mau olahraga di sini, hah? Terus pas gue jalan mau ngambil buku resep, lu malah duduk kayak pengemis di sini, mana nangis lagi. Dasar gila. Woi, buka matalu. Melekin, woii.. Liat nih, gue manusia, dan gue napak!!”, omel seseorang yang kuanggap hantu. Aku pun membuka mata. Kulihat sesosok pangeran tampan berkacamata di hadapanku. Wajahnya benar-benar sama dengan yang ada di mimpiku tadi. Ya.. Pangeran candle-light dinner.

Aku pun terbangun dari paranoidku. Aku sudah lebih tenang setelah melihat kakinya yang masih menapak di lantai. Sesaat aku masih bingung, ketika dia dapat melayang di belakang rak buku, karena penasaran, ku tanyakan langsung padanya, “Eh… Tapi, tadi gue liat lu melayang di belakang rak. Gue masih agak kurang yakin kalo lu beneran manusia. Siapa tau lu sekarang pake magis ato apalah namanya.”

“PFFFTTTT….”

Suara menahan tawa terdengar dari sunggingan bibirnya. Apa maksud dari semua itu?

“Hei.. Tadi tuh gue pake bangku buat ambil buku yang ada di rak atas soalnya gue ga nyampe. Dasar aneh. Naik bangku malah dibilang terbang. Ckckckck. Makanya jangan kebanyakan nonton TV!”, sahutnya dengan mata menyindir. Ia terus tertawa, kemudian terdiam, dan menyunggingkan senyuman.

Tampan sekali…

Ia pun mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menyambut tangannya dengan tersipu dan berterimakasih padanya. Sekali lagi ia tersenyum padaku. “Udah dulu ya. Gue mau balik ke kelas. Dah.”, katanya sambil melambaikan tangan. “Oh.. Iya.. Dah…”, sahutku pelan.

Aku pun kembali ke rak komik dan mengambil beberapa komik untuk kubaca seraya menghabiskan waktu. Aku berjalan lurus menuju ruang baca yang berada di tengah perpustakaan. Ruang baca itu berselubungkan pembatas dari kaca. Modern sekali. Aku duduk sendirian dan membaca komik-komik yang kuambil tadi. Sesekali aku tertawa dan tersipu-sipu sendiri saat membacanya. Semua komik yang kuambil bergenre romansa. Ya, aku memang suka hal-hal yang romantis meskipun kepribadianku sangat bertolak belakang dengan hal itu.

Cherry 2
Bel istirahat pun berbunyi. Aku bergegas menaruh kembali komik-komik yang tadi kuambil dari rak. Segera kularikan diriku menuju halaman belakang sekolah. Sesampainya di sana, sunggingan senyumku tak tertahankan. Taman bunga Strachella yang sangat apik dirawat oleh pihak sekolah dan 5 tukang kebun professional.
Taman bunga ini sangat indah dan hal yang paling kusenangi dari taman ini adalah pohon cherrynya yang rindang dan kesunyian taman ini. Hampir semua siswa Strachella tidak berani memasuki taman ini. Entahlah.. Kudengar dari Hansen bahwa ada rumor hantu berkacamata yang menghuni pohon cherry.
Tahayul sekali rasanya. Aku tak memperdulikan apa yang mau orang lain katakan, yang jelas hampir setiap hari aku ke sini, dan tidak ada hantu atau semacamnya.
“Ahh.. Sejuk sekali hari ini…”, kataku dalam hati seraya membaringkan diri di rerumputan yang empuk dan tumpul. “Sayang sekali aku hanya bisa berbaring di sini selama jam istirahat dan pulang sekolah saja. Aku ingin tinggal di sini rasanya. Pohon ini banyak menyimpan rahasia hidupku. Satu-satunya tempatku mengadu selain kepada Tuhan. Seandainya.. Ya.. Seandainya saja.. Kau masih ada..”, bisikku pelan pada pohon itu.
“Berisik sekali sih. Siapa itu di bawah? Berbicara sendirian? Mengganggu tidurku saja.”
Astaga! Siapa itu? Di sini kan tak ada orang selain aku? Aku pun terperangah saat menengadahkan kepalaku.
Pangeran candle-light… Senyumku tak tertahankan. Aku pun tak ingin menyadari jika pipiku ini meledak karena rona merah yang terlalu pekat. Jantungku berdetak sangat cepat. Ingin sekali kuketahui namanya. Beribu-ribu pertanyaan menghujam pikiranku.
“Siapa dia? Kenapa bisa bertemu sampai 2 kali? Apakah ini takdir? Ah, apa benar?  Lalu, apakah aku harus menyapa dia lebih dahulu? Aku malu sekali, tapi jika kusapa, apa ia mau tersenyum padaku lagi?”, tanyaku pelan dalam hati.
“Hei, nerd! Kenapa kau bisa ada di sini?”, tanyaku iseng padanya.
“Loh, emangnya kenapa? Nggak boleh?”, jawabnya sinis.
“Boleh.. Tapi, banyak yang bilang kalau pohon ini berhantu. Kau tetap mampir ke sini?”, tanyaku penuh curiga.
“Buat apa gue takut? Kan gue hantunya.”



Cherry 3
“Buat apa gue takut? Kan gue hantunya.”
“Hah?”. Aku terus mengerjap tak percaya. Apa maksud dari kata-kata barusan? Tidak mungkin.. Aku tahu yang digosipkan dalam rumor itu, aku kenal orangnya, aku tahu itu bukan dia. Orang itu sudah pergi. Orang itu takkan pernah kembali lagi.
Tak terasa air mataku mengalir setitik demi setitik. Kenangan indah itu bangkit kembali. Kenanganku dengan hantu pohon cherry…
“Yuan.. Kau kenal dengan Yuan?”, tanyaku masih dengan mata berkaca-kaca.
Pangeran itu diam sejenak, kemudian mengatakan sesuatu dengan suara yang parau.
“Mungkin..”
Secercah titik terang tampak jelas di hatiku. Rasa hangat ini muncul kembali. Ingin sekali aku menemukan jawaban yang sudah bertahun-tahun kucari. Sayang, sebelum sempat menanyakan apa pun, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi kembali. Memutuskan semangatku yang sudah mulai bangkit.
Ia pun turun dari atas pohon dan tersenyum padaku. Ia menarik tanganku secara tiba-tiba. Aku kaget sekali. Entah aku harus tersipu malu atau apa. Aku tak mengerti perasaan ini. Aku senang tanganku dapat merasakan genggaman ini lagi. Ia berlari menuju ruang kelas dan ia masih menggenggam tanganku. Tepat di depan kelasku, ia berhenti dan melepaskan genggamannya. Ia pergi menuju kelasnya yang ada di koridor dekat perpustakaan.
Aku pun membuka pintu kelasku perlahan. Wajahku kembali muram. Guru kimia sudah berdiri di hadapanku.
“Dari mana saja kamu, Yuri?”, tanyanya dengan lugas.
Belum sempat menjawab, guru kimia itu langsung menghujaniku dengan omelannya yang dahsyat.
Aku hanya sanggup meminta maaf. Aku pun diperbolehkan duduk di kursiku.
“Akhirnya..”, kataku sambil menghela napas panjang. Hansen mulai menanyaiku macam-macam. Aku hanya diam dan mengacuhkannya.
Aku terus termenung dalam lamunanku. Memori yang sempat hilang kini muncul kembali. Kutemukan sosok pangeran candleku yang entah kenapa mulai mengisi relung hatiku lagi. Rasanya kangen sekali.. Seperti dulu lagi. Kebingungan terus menerpa. Hatiku terus bertanya-tanya. Apakah aku semudah ini melupakan Yuan? Apakah aku setega ini pada Yuan? Dia sudah menemaniku dan menyemangatiku saat aku masih terpuruk. Dia selalu duduk di sampingku ketika aku menangis sendirian di taman. Hingga akhirnya dia pergi karena kecelakaan. Semenjak itulah aku semakin ketakutan jika sendirian. Paranoidku semakin menjadi-jadi. Selalu saja aku merasakan ketakutan yang berlebihan. Entah merasa diikuti atau lainnya. Selama ini hanya Yuan yang mengetahui keadaanku. Yuan.. Apakah kau mendengar isi hatiku? Apakah kau mengirimnya untuk menggantikanmu? Tak pernah ada yang bisa. Namamu sudah terpatri dalam-dalam di hatiku.
Pulang sekolah, kutelusuri lagi taman Strachella. Aku ingin bernostalgia di bawah pohon cherry kesayanganku. Sinar matahari sungguh hangat hari ini. Aku pun duduk di rerumputan dan membuka galeri handphoneku.
“Ceria sekali ya dia. Kalian memang pasangan serasi. Si kacamata dan si bawel.”
Astaga. Dia muncul lagi di belakangku. Selalu membuatku kaget setengah mati. “Hei, bisa tidak kau tidak muncul diam-diam? Aku bisa sport jantung tahu!”
Cowok itu hanya nyengir-nyengir sumringah. “Yuri.. Aku ingin membagi teka-teki bagus denganmu. Kau tertarik?”,  tanya cowok itu. “Tidak tuh.”, jawabku singkat. “Ini ada hubungannya lho dengan Yuan. Hehe.”, balas cowok itu.
Aku berpikir keras. “Baiklah. Tapi, sebelumnya beritahu dulu siapa namamu. Bagaimana?”
“Wah, itu beda lagi ceritanya. Untuk masalah namaku ada teka-teki lain. Hihi.”, kata cowok itu. Ia benar-benar membuatku penasaran. “Oke. Keluarkan teka-tekimu!”, seruku tegas.
“Sama tapi tak sama. Tak sama tapi sama. Aku dan dia segaris, tapi terpisah.”, urai cowok itu dengan senyum licik.
“Baiklah. Aku tak mengerti apa maksudmu. Aku menyerah. Berikan aku jawabannya.”
“Wow. In this case, I have a clue for you. Think about it out of the box. Think it before you answer it. Baiklah besok kita bertemu lagi di sini, saat istirahat ya. Jika kau bisa menjawabnya, akan kuberikan teka-teki level selanjutnya.” Setelah berkata begitu, si pangeran langsung pergi meninggalkan aku sendirian di sana. Ia pulang meninggalkan teka-teki. Sungguh menarik.
Malamnya, aku terduduk di sudut kamarku. Aku terus memikirkan jawaban teka-teki itu. “Sama tapi tak sama, tak sama tapi sama. Segaris tapi terpisah?”, tanyaku dalam hati.
“Kembar…” Tunggu! “Ya! Kembar identik! Terlihat sama tapi tak sama. Tak sama dalam hal sifat! Pantas saja, entah kenapa mereka memang mirip. Bodohnya aku. Mengapa aku tak sadar? Dulu Yuan juga kusebut pangeran.”, kataku pada diri sendiri. Rambutku sudah acak-acakan memikirkan jawabannya dari tadi. Tapi aku masih tak mengerti dengan kalimat segaris tapi terpisah. Ya sudahlah. Aku pun menyalakan TV dan menonton drama kesukaanku. Ceritanya tentang kakak beradik yang tak tinggal seatap karena orangtuanya bercerai, sehingga mereka dipisah. 3 detik berlalu sejak aku mulai menonton dan aku mulai sadar akan sesuatu. “Segaris?! Apa maksudnya sedarah? Iya.. Iya benar. Yuan dan cowok itu tak tinggal seatap karena orangtuanya bercerai dan mereka dipisah. 1 ikut papanya, 1 ikut mamanya. PANTAS SAJA! Dulu Yuan bilang dia hanya punya ayah. Jadi, si pangeran itu adiknya?!”
Aku harus tidur sekarang. Aku sudah tak sabar menunjukkan kegeniusanku padanya! Haha!
Keesokkan harinya, aku melalui pelajaran demi pelajaran dengan baik. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengannya. Perilakuku mulai membuat teman-teman dan guru-guru terheran-heran. Tak biasanya aku memperhatikan di kelas. Tapi, apa boleh buat aku memang tak mau bermasalah dengan guru hari ini. Hingga akhirnya istirahat pun tiba. Aku bergegas menuju taman. Tak kusangka dia sudah bersandar di bawah pohon. Dia tertidur pulas. Aku pun mendekatinya. Menutupi sinar matahari yang menyinari wajahnya. Aku terpesona. Bulu matanya lentik, kulitnya putih, hidungnya mancung, dan tulang pipi yang sedikit tirus. Tanpa sadar kuletakkan jariku di pipinya. Aku membelainya halus. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membuatku tersungkur di dadanya. Astaga…
Jantungku terus melompat dengan kencangnya. Dentuman jantungku tak tertahankan lagi. Rona pipiku sudah mencuat keluar. Pikiranku kosong dan aku terdiam di pelukannya. Aku tak bisa bergerak.
“Yuri.. Aku tak menyangka kau sangat suka kupeluk.”
Sontak aku langsung mendorong tubuhnya. Aku berdiri menjauh. Kusembunyikan merah pipiku darinya. Aku takut. Aku takut dia mendengar jantungku. Astaga.. Kenapa baru sekarang aku bisa bergerak?
Ia pun berdiri sambil tersenyum. Merapikan saku celananya dan menatapku lurus. Ia mendekatiku perlahan. Aku hanya bisa mundur selangkah demi selangkah. Nasib tak berpihak padaku hingga aku harus menginjak ranting pohon kering yang tergeletak di rerumputan, saat itu juga aku terbanting ke belakang, dan sekali lagi ia memelukku. Aku merasakan rasa hangat. Aku tak mengerti kenapa aku tak membenci pelukannya. Aku hanya berharap ia tak melepasnya, hingga akhirnya keinginanku buyar saat ia mendorong bahuku perlahan. Ia tersenyum licik dan tatapan matanya seakan-akan mengejekku.
“Langsung saja. Ehem! Aku sudah tahu apa jawabannya.”, aku memulai percakapan. “Apa itu?”, tanya cowok itu sambil menyipitkan matanya. “Kalian kembar identik. Kau adiknya Yuan, meskipun hanya berbeda detik atau menit atau jam, yang jelas kalian seumuran. Kau terpisah darinya karena orangtuamu bercerai. Kau ikut dengan mamamu.”, jawabku penuh bangga.
“Wah, wah, wah. Kau tampak bahagia sekali menjawabnya. Kedengaran benar, tapi masih ada kesalahan. Harusnya kau berpikir lebih jauh. Benar, kami memang kembar. Saat kecil, orangtuaku bercerai dan papaku membawa Yuan pergi. Mama tak mau mengurusku dan menitipkanku pada bibiku yang tinggal di Queensland. Pada akhirnya, tahun ini aku bisa pindah sekolah dan menjadi kakak kelasmu. Aku mengenalimu dari awal, karena aku sering dikirimkan foto kalian berdua oleh kakakku. Dalam suratnya, ia hanya menyebut namamu dan namamu lagi. Aku sampai merasa bosan membacanya.”
Aku tak mengerti inti dari pernyataannya. Mengapa aku dapat merasakan kebencian di matanya? Aku bingung dengan sikapnya. Tadi ia tiba-tiba memelukku, lalu ia terkesan tak senang dengan surat kakaknya. Kepalaku pusing. Terlalu banyak pertanyaan.
“Baiklah! Teka-teki selanjutnya! Namanya ada dalam namaku. Jika namaku disebut, akan tersirat pesan yang menyatakan aku dan dia pernah ada. Sebutkan jawabannya sekarang.”, katanya.
“Namanya ada dalam namamu. Berarti kau juga bisa dipanggil Yuan?”, tanyaku.
“Benar. Lanjutkan.”
“Pesan yang menyatakan kau dan dia pernah ada? Tunggu.. Biarkan aku berpikir. Orang ada karena dilahirkan ke dunia. Yuan lahir tanggal 1 Desember. Jika kau bisa dipanggil Yuan, biasanya orang dipanggil dengan suku kata terdepan atau yang paling mudah untuk disebut. 1 D? Bukan.. Jika kubalik.. Maka, jadi D 1. D 1 bisa juga jadi kata ‘di’ jika dilihat sekilas. Kemungkinan namamu adalah Yuandi. Apa itu benar?”
Cowok itu terbelalak kaget. Ia kemudian tertunduk dan tegak lagi. Lalu, ia tersenyum padaku. Aku dapat melihat sinar mata yang berkilat-kilat di matanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Aku tak menyangka jawabanku dapat membuatnya begitu bahagia. Ia pun melangkah maju dan sekali lagi aku mendapatkan diriku jatuh dalam pelukannya. Namun kali ini aku mendorong tubuhnya dengan kuat. “Apa maksud pelukanmu sejak awal? Aku benar-benar tak mengerti.”, kulayangkan tatapan tajamku padanya.
Ia hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman. Ia pun pergi meninggalkanku sendirian. Aku yang masih terdiam, dibuat linglung olehnya. Sungguh, hari ini aku merasa agak murahan karena dengan mudahnya dipeluk tiga kali. Tapi, setidaknya aku sudah mengetahui namanya.
Bel usai istirahat pun berbunyi. Aku berlari menerjang arah angin. Aku pergi menuju kelasku dan duduk manis menunggu datangnya sore. Hansen mulai sebal padaku karena aku jadi sering mengacuhkannya 2 hari ini. “Hei, Hansen. Tumben kau tidak berkicau.”, kataku usil. “Kau yang mulai diam. Asyik sendiri dengan day-dreamingmu. Aku tahu kau pasti sedang menyukai seseorang. Ya, ya, ya. Tepat dan sama persis dengan beberapa tahun lalu. Ini kedua kalinya aku diacuhkan oleh dirimu!”, balas Hansen dengan wajah masam.
“Oh, Hansen. Sebegitu dinginnyakah engkau pada sahabatmu ini? Ayolah, kau yang paling mengerti aku!”, seruku sambil nyengir. “Kau mulai lagi merayuku. Entah kenapa aku tak bisa membencimu. Sudahlah. Aku mengerti. Jadi, siapa yang kali ini kau sukai?”, tanya Hansen.
“Hei, pertanyaanmu sangat ambigu. Seakan-akan aku playgirl cap kapak yang sering berganti pasangan. Kau tahu ini baru kedua kalinya aku menyukai seseorang.”, jawabku kesal.
“Pikiranmu negatif sekali. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya ingin kau bisa melupakan mantanmu yang dulu. Kau sangat kehilangan dia dan kau jarang makan selama 3 bulan, remember?”, sela Hansen.
“Oh, baiklah. Kau tahu betul aku tak bisa melupakan dia. Tak ada yang bisa menggantikannya.”
“Bukankah yang sekarang kau sukai sudah menggantikan posisinya?”
“Tidak, jika saja dia bukan adiknya Yuan.”
Hansen diam seribu bahasa. Ia mulai mengenyitkan dahi tanda bahwa ia sedang berpikir. Sesekali ia berusaha bicara namun pada akhirnya bungkam kembali. Selama 1 jam, suasana di antara kami sangat sunyi. Hingga akhirnya, Hansen angkat bicara.
“Yuri, kau yakin kau akan menyukai adiknya Yuan? Bukankah itu hanya akan menyakiti hatimu lagi? Kau tahu itu sama saja kau menjadikan adiknya Yuan sebagai sosok Yuan yang kembali dalam hidupmu? Kau tahu apa artinya itu? Kau tak benar-benar menyukainya.”
Kata-kata Hansen membuatku benar-benar kebingungan. Aku jadi takut jika aku memang sama seperti yang Hansen katakan. Bagaimana ini?
“Sudahlah. Kau tak usah memikirkannya. Lupakanlah dia. Kau hanya akan teringat dengan kecelakaan itu. Paranoidmu akan semakin menjadi-jadi. Apa lagi kecelakaan itu tepat terjadi di depan matamu. Aku tahu benar kau tak mau membangkitkan ingatan itu, hingga kau berkonsultasi ke psikiater. Yuri, dengarkanlah kata sahabatmu ini.” Hansen terus menyuruhku melupakannya. Hansen tampak sangat khawatir. Aku hanya bisa diam dan memikirkan apa yang harus kupilih. Di satu sisi, aku masih penasaran dengan sosok Yuandi. Mungkin saja, aku bisa mendapatkan pesan-pesan terakhir Yuan untukku darinya. Setelah itu, aku takkan mengusiknya lagi. Ya.. Begitu pikirku. Tapi, aku takut dengan dentuman jantungku. Aku takut jika aku benar-benar jatuh. Aku takut menyukainya.
Bel pulang pun berbunyi. Aku sudah siap-siap untuk pergi ke taman lagi. Hansen mulai mencegatku seakan-akan ia tahu bahwa Yuandi ada di sana. Aku hanya bisa tersenyum lemah dan melepaskan genggaman tangan Hansen yang menyergap lenganku. Tapi, Hansen bersikeras tak mau melepaskannya. “Hansen.. Kumohon jangan campuri urusanku.”, kataku pelan.
“Yuri, jika kau sebegitunya menginginkan seseorang untuk menggantikan Yuan, biar aku yang menggantikannya. Kau masih tak sadar juga? Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali kita bersahabat!”



Cherry 4


“Kau jangan bercanda di saat-saat begini, Hansen. Sudahlah, aku sangat terburu-buru. Aku yakin Yuandi punya pesan yang ingin disampaikan Yuan padaku. Aku yakin Yuan punya pesan terakhir untukku meskipun ia tak sempat mengatakannya saat di rumah sakit. Aku.. Aku yakin!”
Aku menghentakkan tangan Hansen ke udara. Aku berlari menjauhinya dan tanpa disangka ia juga berlari mengejarku. Aku terus berlari menuju taman dan senyumku mengembang saat kulihat sosok Yuandi di dekat pohon. Tapi, langkahku terhenti. Aku tak percaya dengan penglihatanku. Yuandi memeluk seorang cewek yang amat kukenal. Sahabatku yang dulu..
“Lisa!”, seruku seraya berlari mendekati mereka. Yuandi terbelalak kaget dan melepas pelukannya. Lisa yang melihatku tiba-tiba melarikan diri ke gerbang sekolah. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Yuandi.. Kau kenal dengan Lisa? Ia bukan murid sekolah ini. Hanya aku dan Yuan yang mengenalnya. Kami mengenalnya lewat blog dan sering makan bersama di bawah pohon ini.”, tanyaku penuh rasa gelisah.
“Itu bukan urusanmu. Memangnya kenapa? Kau cemburu? Lihat tuh teman cowokmu dari tadi melototiku. Dia sepertinya sangat menyukaimu. Wah, wah, aku terbelenggu dalam cinta segitiga dan sayangnya aku tak menyukaimu.”, kata Yuandi dengan dingin.
Bibirku bergetar. Aku tak menyangka ia akan mengatakan hal yang begitu kejam padaku. Keringat dingin mulai menyusuri pipiku. Tanganku tak bergerak. Aku tak mampu menyeka air mata yang mulai berjatuhan dari sudut mataku.
“Apa arti pelukanmu saat itu.. Apa arti semua ini.. Apa maksudmu dengan mengakui dirimu sebagai adik Yuan dan seakan-akan memberikanku secercah harapan?!” Aku terus mengatakan isi hatiku tanpa henti. Air mataku tak terbendung. Rasa marah, kecewa, sedih, dan hina menyelimuti diriku. Aku merasa dipermainkan oleh orang yang kuanggap pangeran. Apanya yang pangeran candle-light dinner? Hanya Yuanlah sosok pangeranku. Hingga akhirnya, tangan dan bibirku terus bergetar. Mataku tak henti-hentinya menerjunkan air mata. Sungguh pilu kurasakan. Hatiku benar-benar terkoyak.
Kurasakan satu tangan melesat melewati pipiku dan menghujam wajah Yuandi hingga ia tersungkur di tanah. Hansen meninjunya dengan keras. Wajahnya berubah merah. Ia sangat marah. Aku hanya sanggup menahan tangan Hansen agar ia tak memukul Yuandi lagi.
“Hei, kau. Bawa saja pacarmu ini jauh-jauh. Aku hanya menjadikannya mainanku beberapa hari ini. Dia memang bodoh dan mudah terpikat padaku. Jagalah dia baik-baik, agar tidak mengejarku lagi. Hahaha. Sungguh bodoh. Yuan milikmu itu sudah mati dan takkan kembali lagi. Bahkan, kau sendiri yang membunuhnya! Aku benci sekali padamu. Kau telah melenyapkan kakakku yang berharga. Dalam suratnya, ia terus menyebut namamu. Namun, karena mau menyelamatkanmu yang menggunakan mata sebagai hiasan saja, ia tertabrak dan meninggal di rumah sakit. Namamu sangat membuatku muak! Aku hanya ingin menyakiti hatimu saja. Pelukanku itu tak ada artinya.”
Kata-kata Yuandi benar-benar menyakiti hatiku. Dia menyalahkanku atas kematian kakaknya. Aku semakin tak mengerti harus berkata apa. Hingga Hansen hendak memukulnya lagi dan aku mengurungkan niatnya. Aku hanya bisa mengajaknya pulang dan terdiam meratapi kenyataan Yuan sudah tiada dan Yuandi membenciku.
Hansen mengantarku pulang. Ia pun tak mengajakku bicara sama sekali. Dua hari ini, ia tampak berbeda. Ia tak bersikap konyol lagi. Bahkan, ia menyatakan perasaannya padaku. Tapi, aku bingung pada perasaanku. Kepada siapa sebenarnya hatiku berlabuh?
“Hansen.. Atau.. Yuandi..? Ah, tidak. Aku pusing sekali!!! Aku tak mengerti. Hatiku sangat sakit. Aku tak mampu berpikir sama sekali.”, kataku dalam hati. Aku terus termenung berjam-jam di atas kasurku. Tak paham arti cinta yang pernah kurasakan dulu ketika bersama Yuan. Semua beranjak berbeda.
“Yuan.. Aku sungguh menyesal. Jika saja, waktu itu aku! Jika saja bukan kau!”
Aku mulai terisak keras. Kukunci pintu kamarku. Kuacuhkan semua lalu-lalang di luar sana. Kujatuhkan diriku dalam sunyi. Peluh mata berurai panjang. Tak terkendali. Merah hidung ini karena terlalu pedih yang kurasakan. Yuan sudah tiada, Yuandi membenciku karena kematian Yuan, Hansen membuatku terus kebingungan.
“Kenapa hidupku harus sesulit ini?!”, seruku dalam keheningan yang ada. Aku seperti berbicara pada angin. Senyumku tersungging seraya menahan sesak di dada, bukan karena bahagia, tapi karena muncul rasa muak pada diriku sendiri yang dengan mudahnya dipeluk orang itu, tanpa menyadari bahwa sebenarnya itu hanya main-main saja. Kesal sekali rasanya. Ingin rasanya aku membalikkan waktu. Menghentikan pertemuanku dengannya. Ingin mati saja..
  

Cherry 5
Mentari sudah di ufuk timur. Kupaksakan diriku untuk bangun dan membilas diri. Wajahku sungguh suram dan membuat orangtuaku terheran-heran dan khawatir. Tak biasanya aku tak bersemangat. Mereka bilang aku seperti kehilangan Yuan untuk kedua kalinya.
Sesampainya diriku di sekolah dengan motor papaku, papa langsung memegang dahiku. Kerut wajahnya yang sudah terlihat jelas semakin berkerut tanda ia sangat khawatir. “Riri, kamu nggak sakit, kan?”, tanya papa padaku. Aku hanya menjawab singkat dengan seulas senyuman, “Nggak apa-apa, pa..”
Kulangkahkan kakiku menuju taman Strachella. Kulihat air mancur di tengah halaman depan sekolah sudah dinyalakan. Indah sekali.. Tak seperti keadaan hatiku yang sudah campur aduk tak karuan. Aku terus melangkah dan tercengang ketika menengadahkan kepala. Kulihat Yuandi menitikkan air mata di balik pohon cherry. Ada apa ini sebenarnya..
“Yuandi..”, panggilku.
Ia pun menengok dan menyeka air matanya. Ia menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa menghela napas dan bertanya, “Kau tidak apa-apa?”
“Tak usah pedulikan aku. Urusi saja urusanmu dengan pacarmu itu! Untuk apa kau datang ke sini lagi? Masih mau kupermainkan?”, balasnya sengit.
“Aku tak mengerti apa alasanmu melakukan semua itu. Tapi, jujur saja. Kulihat pancaran matamu tak menyiratkan bahwa kau mengartikan semua perkataanmu tadi. Kau tampak seperti wanita, kau tahu?!”, jawabku seraya tersenyum tipis.
“Tidak lucu sama sekali.”, timpalnya. “Ya. Aku memang bukan pelawak. Lagi pula jika memang tak lucu kenapa kau menahan tawa?”, sahutku ringan.
“Maukah kau duduk di sini?”, tanya Yuandi sambil menepuk permukaan rumput di samping kanannya. “Tidak. Siapa tahu aku akan dipermainkan lagi?”, sindirku.
“Tidak. Aku takkan menyentuhmu. Duduklah. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”, kata Yuandi seperti memohon secara tidak langsung. Tapi, aku takkan tertipu kali ini. Aku hanya membalasnya dengan senyum datar dan mengatakan  dua patah kata, “Maafkan aku.”
Aku pun berbalik dan bergerak lurus. Kudengar teriakan Yuandi dari jauh. Tapi, aku tak menggubrisnya. Aku hanya mau melupakannya. Biarlah hanya Yuan yang mengisi relung ini. Tetapi, jujur aku memang mendengarnya dengan jelas, “Kutunggu kau di sini saat istirahat!”
Aku bergerak menuju kelasku. Kurasakan ada orang yang mengikutiku. Semakin lama semakin cepat langkah kakinya. Aku pun mempercepat langkahku. Kubisikkan dalam hati, “Lebih cepat! Lebih cepat! Lebih cepat!” Astaga, apa paranoidku muncul kembali? Kenapa tak ada seorang pun yang muncul padahal sudah mau bel begini? Aku takut sekali. Hingga akhirnya, kurang lebih tiga meter aku sudah hampir mencapai kelas, sebuah tangan menarik bahuku ke belakang, dan membuatku berbalik arah. Aku terdiam di tempat. Kulihat Hansen bercucuran keringat.
“Hei! Kau mengapa jalan cepat sekali?! Apa kau ini matrix atau sebagainya? Cukuplah sudah kau menonton film ‘Kungfu Hustle’mu itu! Tak kusangka kau berhasil mempelajari jurus jalan cepatnya. Hahaha.”, ejek Hansen lirih.
“Ini baru Hansen yang kukenal. Sama sekali tidak lucu, Hansen! Haha. Kau tahu benar aku sangat takut sendirian. Di sini sepi sekali dan kudengar langkah kaki yang penuh ambisi dari balik punggungku. Bagaimana aku tidak mempercepat langkahku? Kau sekarang yang membuatku paranoid, Hansen!”, sergahku cepat.
“Hehe. Sudahlah. Ayo, masuk kelas.”, sahutnya dengan penuh senyuman. Hatiku terasa lebih ringan melihatnya. Syukurlah, ia kembali seperti dulu.
Aku pun duduk di bangkuku yang kebetulan tepat berada di samping bangku Hansen. Ia banyak tersenyum padaku hari ini. Ia terus saja memulai pembicaraan konyol dan membuatku tertawa. Tak jarang guru-guru mulai kesal dengan kericuhan pembicaraan kami. Topik yang beraneka ragam, dari membicarakan soal jemuran tetangga sebelah yang ditaruh sembarangan hingga masalah Hansen yang mecoba lipstick mamanya. Astaga. Hari ini penuh tawa. Senang sekali rasanya.
Tak terasa senyum ini harus datar kembali. Bel istirahat sudah berdentang dan aku bimbang untuk mengambil keputusan. Sesekali kuingat rasa sakit itu, aku pun bertolak menuju kantin. Tetapi, suaranya terus menggema di kepalaku, hingga aku mondar mandir di koridor, karena bingung akan pilihanku. Saat itu juga kuputuskan untuk menemuinya di bawah pohon cherry.
Aku terus berlari menerjang angin. Peluh dan keringat bercucuran. Masih pagi tapi sudah terasa panas. Entahlah, mungkin karena jantungku yang terus berdentum kencang. Hatiku masih sakit. Tapi, aku tak ingin menghindar. Aku pun mulai melihat sosok Yuandi dari kejauhan. Ia berdiri dan bersandar pada batang pohon, meluncurkan pandangan matanya padaku yang sudah tergopoh-gopoh menghampirinya. Tak satu senyum pun diperlihatkannya. Aku benar-benar menyadari ada sesuatu yang buruk yang ingin ia katakan.
“Kau lelah?”, tanya Yuandi pelan. “Seperti yang kau lihat. To the point saja. Sebenarnya ada apa?”, jawabku cuek. “Maafkan aku. Maukah kau memberikanku satu kesempatan lagi?”, tanya Yuandi padaku. “Kesempatan apa? Kau merasa bahwa kau punya salah padaku? Bukankah kau membenciku? Sudahlah. Keadaan kita yang seperti ini sudah membuatku tenang. Tak usah mengubah apa pun lagi.”, sindirku sengit.
“Yuri..”
Yuandi menatapku lurus-lurus. Matanya sedikit berkaca-kaca. Hampir saja aku lepas kendali, tapi aku harus menjaga perasaanku. Aku tak akan jatuh untuk kedua kali.
“Aku berbohong padamu tentang perkataanku waktu itu.”, kata Yuandi lirih.
Oh, I don’t even care. Aku.. Entahlah. Aku hanya tak mau menganggap serius semua perkataanmu sekarang. Lebih tepatnya aku sudah muak. Jangan sebut namaku lagi. It’s annoying. Aku harus pergi. Kurasa kau tak punya sesuatu yang penting untuk dikatakan. Kau menguras waktuku yang berharga.”, sahutku dengan wajah muram.
Aku melangkah dan menjauhinya. Tak sampai semenit, kurasakan genggaman kuat menyandera lenganku. Sakit tapi entah kenapa aku tak membenci genggaman itu. Sekejap aku menoleh ke belakang dan Yuandi memasang wajah serius.
“Yuri, jadikan aku pengganti Yuan untukmu.”


Cherry 6
“Lepaskan aku.”, kataku tajam.
“Tidak. Sebelum kau menyetujuinya.”, jawab Yuandi lugas.
“Kau ini bodoh atau apa? Yuan ya Yuan. Kau ya kau. Kau bukan Yuan. Artinya, kau tak bisa menggantikan Yuan. Tak bisakah kau berpikir logis?”, balasku dengan sedikit berteriak.
Aku tak habis pikir. Yuandi dengan seenaknya saja mendekatiku, mengisi hatiku, memelukku, menyakitiku, dan pada akhirnya memintaku untuk menjadikannya pengganti Yuan. Tentu saja aku semakin merasa dipermainkan. Keterlaluan sekali. Wajahnya yang begitu mirip dengan Yuan, membuatku semakin sulit untuk menampar pipinya. Aku tak tahan lagi.
“Aku serius. Berikan aku kesempatan sekali lagi. Kumohon. Akan kujelaskan semuanya.”, kata Yuandi dengan wajah memelas.
“Tak ada yang perlu dijelaskan. Sudahlah. Biarkan aku pergi sebelum aku memukulmu.”
“Pukul aku jika itu dapat membuatmu mau mendengarkanku.”
Aku menghempas tangannya dengan kuat. Rasa marahku sudah tak tertahankan. Urat kesabaranku sudah mencapai klimaks. Aku menatapnya dengan penuh kebencian. Napasku tak teratur. Dengusanku terus terdengar. Aku segera bertolak pergi sebelum aku tak dapat mengendalikan emosiku. Kuteriakkan sebuah kalimat yang ada di ujung benakku, “Jangan ikuti aku!”
Kularikan diri menuju kelas. Hansen sudah berdiri di pintu dengan menyilangkan tangan. Menghalangi jalanku.
“Apa yang terjadi?”, kata Hansen pelan.
Kulihat sorot kekhawatiran di matanya, namun aku hanya bisa bungkam. Aku menghalaunya dan duduk di kursiku. Ia menghampiriku dan menanyakanku sekali lagi. “Apa yang terjadi?”
“Oh, baiklah. My sweetheart sedang butuh sandaran kepala.”, bisik Hansen di telingaku.
Tiba-tiba, ia mencondongkan bahunya di dekatku dan menggerakkan tangannya di kepalaku. Mendorong kepalaku pelan dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Tangan kanannya membelai halus rambutku.
“Menangislah. Aku tidak apa-apa.”, bisik Hansen lembut.
Air mataku tak terbendung mendengar kata-katanya. Sampai-sampai aku menjaga suaraku agar isakanku tak terdengar. Air mataku membanjiri sudut mata dan kedua pipiku dengan hening.
Tak terasa hatiku sudah mulai datar kembali. Hansen menenangkan jiwaku. Aku bersyukur memiliki sahabat sepertinya.
Pelajaran sudah dimulai kembali. Handphoneku bergetar singkat menandakan ada pesan yang masuk. Aku membukanya diam-diam di balik bukuku. Astaga.. Dari Lisa.
“Aku tak menyangka, ternyata kau mengenal Yuandi. Kau jahat sekali, ya. Hei.. Kau ingat kan, kau sudah membunuh kakaknya? Kau jalang sekali mendekati adiknya sekarang. Jijik! Mau kubagi satu rahasia? Aku sangat menyukai Yuan dulu dan kau merebutnya! Aku sangat menyukainya sejak pertama kali chatting dengannya di blog. Kau yang merebutnya, tak membiarkan aku berduaan dengannya mengobrol. Dimana ada Yuan, pasti ada kau. Aku muak! Sekarang satu-satunya yang kumiliki hanya Yuandi dan kau mau merebutnya lagi? Hahaha. Mati saja kau! Tenang saja, pikiran Yuandi sudah kupengaruhi berbulan-bulan. Aku yang memprovokasinya untuk membencimu. Aku mereka-reka tentang kecelakaan itu sehingga kau akan lebih disalahkan dan dibenci olehnya! Aku akan membuat Yuandi mendorongmu ke jalan dan membuatmu merasakan yang Yuan rasakan! Hahaha.”
Aku tak menyangka semua ini terjadi. Jadi, Lisalah otak di balik semua ini. Yuandi jadi membenciku. Berusaha mempermainkanku, agar aku sakit hati. Bagaimana aku dapat menjelaskan semua ini.. Yuandi takkan semudah itu percaya padaku. Aku tak berpikir panjang. Bodoh sekali. Aku benar-benar kebingungan sekarang.
Sepulang sekolah, aku dan Hansen berpisah. Aku menolak ajakannya untuk pulang bersama dan membohonginya bahwa aku ingin pergi berbelanja. Setelah kuyakini bahwa bayangannya tak terlihat lagi. Aku berlari menuju taman. Tak ada siapa pun. Aku pun duduk di balik pohon cherry agar tak ada yang dapat melihatku. Tak lama kemudian, kudengar langkah kaki semakin mendekati tempatku bersembunyi. Terdengar seperti dua orang. Aku membekap mulutku dengan kedua tangan dan berharap tak ditemukan.
“Yuandi.. Kau ingat janjimu padaku, bukan? Kau takkan pernah meninggalkanku. Kau akan selalu di sisiku untuk menggantikan Yuan. Kau pasti menepatinya, kan?”
ASTAGA!!! Itu suara Lisa. Aku tak habis pikir akan perkataannya. Janji macam apa itu?!
“Lisa.. Kurasa Yuri bukanlah orang yang jahat. Aku tak bisa membencinya. Mungkin itu hanyalah kecelakaan yang ditakdirkan. Mungkin ia sedang tak fokus melihat jalan dan pada akhirnya hampir tertabrak mobil, hingga kakak pun lari untuk menyelamatkannya. Lisa..”
“Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku melihat dengan mataku sendiri. Yuri dengan sengaja menyebrang jalan tanpa menengok kanan kiri. Ia sengaja mau mencelakakan Yuan. Kau harus percaya padaku.”
“Kau setiap hari mengatakannya. Entah di sms, di e-mail, maupun di hadapanku. Aku sudah hapal kata-katamu itu. Lisa, entah kenapa aku merasa sosok jahat ada pada dirimu. Sudahlah. Aku ingin memaafkan Yuri. Aku ingin berteman dengannya.”
“Tidak boleh! Kau milikku. Kau.. Jangan-jangan.. Kau menyukainya, ya?! Wah, wah, wah. Pakai mantra apa dia, sampai-sampai kau dan Yuan menyukai orang yang sama. Keterlaluan!”
“PLAKKKK!”
Kudengar jelas suara tamparan dari balik punggungku. Kencang sekali suaranya. Aku yakin Yuandi benar-benar kesakitan. Tak lama kudengar Lisa mulai mengoceh kembali dan mengucapkan selamat tinggal.
Yuandi menjatuhkan dirinya di bawah pohon, tepat di belakangku. Entah kenapa posisi ini seperti di komik-komik. Aku terus terdiam dan tiba-tiba kudengar Yuandi mengucapkan sesuatu.
“Awalnya kupikir aku menyukai Lisa dan ingin menyambut perasaannya. Tapi, sekali lagi kukerjapkan mata, yang ada di matanya hanya kebencian. Aku tak bisa menepati janjiku. Setiap kali kutatap mata Yuri, aku tak dapat mengendalikan diriku. Ia benar-benar membuatku kacau. ”
Seulas senyum mulai mekar di wajahku. Rona pipi yang sudah lama tak muncul kini mencuat kembali. Kurasakan perasaan lega dan bahagia mengaliri tubuhku. Aku pun menjawab kata-katanya, “Kau tahu, aku sudah ada di sini sejak pertama kau datang dengan Lisa.”
“Astaga!” Yuandi melompat kaget. Ia terus mengerjapkan matanya tanda tak percaya. “Kau mendengar semuanya?!”
“Kau tahu jawabanku.”, kataku lirih. Aku pun mengangkat tanganku dan menyentuh pipinya yang merah. Telapak tangan Lisa sangat jelas terlihat di pipinya. Aku hanya bisa menghembuskan napas panjang.
Yuandi menyunggingkan senyuman dan mulai bergurau, “Kurasa ada yang sedang mengkhawatirkanku. Apa aku harus memeluknya lagi, ya? Manis sekali.”
Aku membalas kata-kata itu dengan senyum lebar. Jantungku berdebar keras sejak tadi. Kulihat ia mulai berdiri dan menjatuhkan diriku dalam dekapannya. Kudengar jantungnya juga berdentang kencang. Sama sepertiku. Aku sangat bahagia.
“Maafkan aku.”, kata Yuandi tanpa melepas pelukannya.
“Aku yang seharusnya meminta maaf. Gara-gara aku, Yuan pergi..”
Dengan cepat, Yuandi menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Memotong kata-kataku dengan sorot matanya yang lembut. Melumerkan diriku.
Aku pun mengeluarkan handphoneku. Kutekan tombolnya satu per satu hingga terlihat tulisan ‘inbox’ dan aku membuka pesan Lisa. Kutunjukkan padanya.
Tak lama kulihat wajah Yuandi berubah masam. Ia tampak kecewa. Ia semakin merasa bersalah. Ia pun memforward sms Lisa dan mengirim sms itu ke nomor handphonenya. Kurasa ia mau menunjukkannya pada Lisa dan menjadikannya sebagai bukti. Sorot matanya yang lembut berubah pedih. Kemudian ia mengembalikan handphoneku dan mengumbar senyuman.
“Yuan sudah bahagia di sana. Kurasa ia juga ingin kau untuk menghadapi kenyataan bahwa ia sudah pergi. Jika aku ada di posisinya, aku benar-benar berharap kau akan tersenyum kembali dan menjadikan diriku sebagai memori.”, kata Yuandi.
“Terima kasih.” Aku mengusahakan senyuman termanisku di hadapannya. Ia membalas senyumanku. Sekali lagi, napasku terhenti. Aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya. Kuarahkan mataku lurus dengan matanya. Aku mulai berjinjit perlahan demi perlahan.. Pangeran candle-lightku..
“Wow! Sudah-sudah. Yuri, kau menatapnya dengan tatapan berbahaya. Nanti dia bisa memelukmu kembali, kau tahu?!”, sela Hansen tiba-tiba.
“Astaga! Bagaimana kau..? Bukankah kau sudah pulang?”, jawabku terheran-heran.
“Kau tak cukup pintar untuk membohongiku. Sejak kapan kau pergi berbelanja, hah? Oh, kau pasti bercanda. Yuri, si tomboy, berbelanja? Gila. Aku mengikutimu ketika kau sedang berlari menuju taman. Aku berdiri di sudut ujung taman yang tak jauh dari pohon. Aku mendengar semuanya dan lihat siapa yang kubawa? Teman pengkhianatmu.”, kata Hansen ringan.
“Dia ternyata berteman denganmu selama ini hanya untuk mengincar Yuan. Saat kejadian kecelakaan, dia ada di tempat. Ia sengaja menyuruhmu untuk menyebrang untuk membelikannya minuman, sementara ia dan Yuan mengobrol di pinggir jalan. Tapi, naas, kau menyebrang saat lampu hijau sudah menyala, truk datang, dan Yuan berlari menyelamatkanmu. Saat kejadian, Lisa langsung menjauhi lokasi. Membiarkan kau dan Yuan sendirian, agar ia terkesan tak terlibat dalam kecelakaan itu. Kau dan Yuan sudah naik ke mobil ambulance dan ia pun menyusul ke rumah sakit. Tak lama ia melihat Yuandi dan papanya datang dengan wajah yang sangat khawatir. Ia kaget melihat ada seseorang yang benar-benar mirip dengan Yuan. Ia pun mendekati Yuandi dan menceritakan kejadian dengan tambahan rekayasa yang ia buat.”, tambah Hansen.
Sebelum aku hendak berbicara, Hansen menyela dua kali lebih cepat, “Aku mengancamnya untuk memberitahukan semuanya dengan menyodorkan ini. Yah, dia memang orang yang merepotkan.”
Kulihat sebuah video amatir dari kamera handphone yang merekam semua kejadian serta tambahan rekaman suara Lisa saat menceritakan semuanya. Hansen memang hebat.
“Baiklah, nona jahat. Sebelum aku menendangmu keluar, lebih baik kau pergi sekarang, dan jangan pernah kembali lagi!”, teriak Hansen pada Lisa. Lisa mulai menghentakkan kaki dan mengecakkan lidah. Ia pergi dan meninggalkan sekolah Strachella.
Kini yang tersisa hanya aku, Hansen, dan Yuandi. Yuandi masih tampak shock dan linglung. Ia menyadari kesalahpahaman besar yang ia sudah yakini selama ini. Ia tak mampu berkata-kata.
Detik demi detik, menit demi menit, dan angin terus berdeham riuh rendah. Hansen pun angkat bicara. “Baiklah. My sweetheart.. Aku hanya bisa menemanimu sampai sini. Aku sudah merelakanmu, aku tahu kau akan lebih memilihnya dibanding aku. Jadi, sebelum aku didepak dan tersungkur akibat penolakanmu, aku akan menyerah lebih dahulu. Hei, Yuandi, kau tahu kau harus menjaganya dengan baik, kan? Jangan membuatnya menangis atau aku akan mengambilnya kembali dan membawanya lenyap dari hadapanmu.”
Setelah itu, Hansen bertolak pergi seraya memasukkan tangannya ke saku celana. Ia meninggalkan senyuman padaku dan Yuandi.
“Sungguh.. Orang itu hanya sok keren.”, gurauku pada Yuandi. Yuandi tersenyum lebar dan merangkulku.
“Ayo, kita pulang bersama.”

  


Cherry 7

Aku pulang bersama Yuandi. Ia mengantarku sampai depan pintu rumahku. Aku pun melepaskan dekapanku dan turun dari motornya. Yuandi pun melayangkan gurauan yang membuatku tersenyum malu, “Hei.. Aku jadi ingin mengantarmu pulang setiap hari. Pelukanmu hangat. Hihihi.”
Aku berdeham keras dan tersenyum. “Yah, kurasa kau takkan bisa tidur malam ini. Aku yakin kau tak sabar untuk pergi bersamaku ke sekolah besok pagi.”, godaku iseng. Aku menjulurkan lidahku sambil tersenyum lebar. Ia pun tertawa dan melambaikan tangan kanannya. Aku membalas lambaiannya dan masuk ke dalam rumah. Ia baru bergerak pergi setelah aku masuk.
“Wah, wah, wah.. Lihat, Pa. Anak kita sudah punya pacar.”
Astaga! Mama mengagetkanku. “Mama! Iiih! Jangan bikin aku kaget dong!”
Mama dan Papa tersenyum lebar dan mengajakku untuk makan siang bersama. Kami terus bercanda dan tertawa riang. Hari ini benar-benar wonderful!! Aku punya pacar baru.
Malam pun tiba, aku sedang berbaring di kasurku. Tersenyum tanpa henti. Rasanya seperti ada musim semi dalam hatiku. Bahagia sekali.. Tak lama handphoneku berbunyi. Ada pesan masuk yang tak kukenal nomornya.
“Aku merasa aku sudah gila. Seperti yang kau bilang, aku tak bisa tidur sama sekali! Kurasa aku harus melihat wajahmu dulu baru aku bisa tidur. Kau tak setega itu kan membiarkan mataku menghitam seperti panda? Turunlah. Aku di depan rumahmu.”
Senyum sumringahku terurai. Aku senang sekali. Aku tak menyangka dia akan mendatangi rumahku malam-malam begini. Sungguh.. Yuan.. Aku sangat bahagia. Kuharap kau juga merasakan kebahagiaanku ini.
Kubuka pintu rumahku dan menutupnya perlahan. Kulihat Yuandi sudah melemparkan senyuman lebar di dekat pagar. Ia memakai piyama! Aku tak bisa menahan tawaku.
“Hei. Kurasa kau jauh lebih tampan memakai piyama dibandingkan memakai seragam. Hahaha.”, ejekku padanya.
“Terus saja tertawa. Tapi, biarlah, kurasa kau juga cantik dengan kamisolmu. Hihihi.”, ejeknya balik.
Ia pun melingkarkan kedua tangannya pada tubuhku. Aku menatapnya dengan penuh senyum. Kulihat rona merah di pipinya merekah. Oh, kurasa aku pun tak dapat menyembunyikan merah pipiku. Ia memejamkan matanya dan sedetik kemudian, kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Ia mengecupku dalam. Aku hanya ingin waktu terhenti saat itu juga. Aku bahagia…


Cherry 8

Pagi ini, aku bangun dengan hati yang sungguh bahagia. Bunga-bunga masih bermekaran tak henti-hentinya dalam diriku. Saat papa mau mengeluarkan motornya, Yuandi sudah mengklakson motornya di depan rumahku. Dia gagah sekali dengan motor ninjanya. Papa merasa kalah dan menganggukkan kepala tanda ia setuju agar aku pergi bersamanya.
“Yuandi!”, panggilku riang.
“Silahkan, ma cherie..”, sambut Yuandi hangat.
Aku duduk di belakangnya dan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Kulihat seulas senyum manis di bibirnya. Aku dan Yuandi pun mengucapkan salam pada papa dan mama. Yuandi melajukan motornya dengan santai. Rasanya mesra sekali. Hihi.
Sesampainya di sekolah, kami berpisah. Aku dan dia saling melontarkan senyuman. Ia membelai halus rambutku dan mengisyaratkan untuk bertemu saat pulang sekolah di taman. Aku mengangguk dan bergerak lurus ke kelas.
Hansen mulai geleng-geleng kepala melihat diriku yang terus tersenyum selama pelajaran. Tak disangka Hansen pun ikut tersenyum dan menertawakan tingkahku. Kini, sepertinya kulihat Hansen sedang dekat dengan si preman kelas, Lenka. Tak kusangka Hansen suka dengan wanita yang tomboy seperti itu. Ya, ya, ya, kuakui aku juga tak feminim sama sekali. Kurasa cerita cinta antara Hansen dan Lenka akan menarik juga.
Sepulang sekolah, aku bergerak menuju taman. Kulihat tak ada siapa pun di sana. Aku berjalan menuju pohon cherry, pohon kesayanganku.
Di antara semak-semak dan dedaunan, ku rebahkan kelelahanku di atasnya… Cerahnya langit dengan matahari yang sedikit redup membuatku dapat memandangi luasnya dunia atas yang kulihat itu… Ku pandangi langit biru yang penuh dengan awan lucu.

Mereka berwarna sama tetapi beragam bentuknya. Mereka membuatku berangan-angan dan berusaha menebak dalam wujud apakah mereka sekarang..

Tunggu.. Salah satu awan itu berbentuk wajah! Apa ini hanya khayalanku saja? “Mirip seseorang.. Hehe..”, kataku dalam hati.

Kurun waktu sedetik, tapak kaki seseorang mulai terdengar. Terasa sekali langkahnya.. Ia muncul dari belakang pohon cherry di belakangku. Menutupi langit yang kupandang dan mengalihkan tatapanku. Aku pun tersenyum padanya…


“Yuandi..”, panggilku seraya tersenyum lebar.



Ditulis oleh Martha

RENUNGAN HARIAN 6 MEI 2023

DOA PEMBUKA Allah Bapa yang Mahakasih, kami mengucap syukur atas rahmat-Mu yang kami terima pada hari ini. Bukan saja Engkau membangunkan ...