google-site-verification=ydrwj_TcX7EKVuIoCDu-3scwDwIHaXOT828Be0zpAR8 MANUSIA PEMBELAJAR: MENANAMKAN KEJUJURAN DALAM PENDIDIKAN

Friday 22 November 2013

MENANAMKAN KEJUJURAN DALAM PENDIDIKAN


PENDIDIKAN KARAKTER

Berbicara tentang pendidikan karakter berarti kita berbicara tentang pendidikan keutamaan hidup. Untuk memahami proses pendidikan itu, sepertinya kita tidak dapat mengabaikan bagaimana Plato memusatkan perhatiannya pada sebuah proses pendidikan yang diperuntukkan secara khusus bagi para calon pemimpin pemerintahan. Mungkinkan keutamaan di ajarkan di lingkungan sekolah? Belajar dari pengalaman Plato berhadapan dengan kematian gurunya, Sokrates. “Jika keutamaan tidak dapat diajarkan, maka sia-sialah kematian Sokrates. Jika keutamaan tak mampu menggerakkan atau mengubah pribadi lain, sia-sialah Sokrates meneguk racun, sebab kebenaran akan musnah seiring dengan kepergiannya di dunia ini”.
Belajar dari tragedi kematian Sokrates, ada dua hal yang dapat kita dapatkan. Pertama, keteguhan sikap dan prinsip hidup Sokrates berhadapan dengan tatanan hukum Athena. Kedua, tatanan hukum Athena yang menghargai demokrasi ternyata telah mengorbankan seorang warga yang tidak bersalah dengan telikung mayoritas suara para tiran.
Pengalaman inilah yang membuat Plato mencarai jalan bagaimana membentuk sosok manusia yang memiliki sifat integral sehingga mampu menjadi pemimpin  yang dilandasi nilai-nilai keutamaan. Sokrates telah memberikan contoh bagaimana memperjuangkan nilai keutamaan hingga bertaruh hidup. Bahkan seolah hidup tidak lebih berarti dari pada menegakkan nilai.

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER

Carut marut kehidupan Indonesia sekarang ini tak dapat dilepaskan dari gagalnya pendidikan karakter. Pendidikan yang merupakan lembaga pembangunan karakter bangsa terjebak dengan pembangunan ekonomi dan iptek. Lembaga pendidikan terjebak lebih menjadi ajang kompetisi prestasi UN dari pada lahan pembentukan karakter. Akibatnya, bangsa ini menjadi keropos, tanpa tiang penyangga dan dasar yang kokoh.
Setiap hari media menyajikan berita yang memprihatinkan seperti pelanggaran ham, korupsi meraja lela, penipuan, hak-hak rakyat terabaikan, kekuasaan menjadi ajang memperkaya pemimpin. Penguasa mengambil kekayaan  dan jaminan hidup rakyat dipandang sebagai hal yang lumrah demi impasnya beaya kampanye yang sangat mahal. Inikah bangsa yang kita harapkan? Akankah cita-cita para pendiri bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, menjadi sebuah asesoris bangsa yang besar ini?
Kurikulum berganti setiap pergantian menteri. Di sisi lain banyak gedung-gedung sekolah roboh terabaikan tak terurus. Program perbaikan ruang kelas tidak signifikan sehingga sekolah tidak lagi menjadi tempat yang kondusif untuk proses pendidikan.
Setelah tahun 90-an, perekonomian rakyat semakin merosot. Reformasi, yang merupakan masa bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik justru semakin menjauh dari harapan. Krisis ekonomi Indonesia yang sangat besar memberi pengaruh yang besar pula terhadap perbaikan dunia pendidikan. Harga-harga melambung tinggi, ekonomi raykat menjadi semakin sekarat, sementara beaya pendidikan semakin tinggi membuat jumlah putus sekolah semakin besar. Dengan demikian, peluang yang miskin semakin miskin menjadi sangat besar.
Sekolah yang idealnya menjadi tempat yang nyaman bagi peserta didik untuk hidup dan memperoleh dasar hidup menjadi “jail in the morning”, semacam penjara di pagi hari. Banyak anak takut pergi ke sekolah. Guru yang adalah orang tua kedua paserta didik di lingkungan sekolah, namun seringkali justru guru memperlakukan peserta didik secara semena-mena. Kasus guru melakukan tindakan asusila kepada peserta didik merupakan berita yang sangat tragis. Maraknya tawuran di kalangan pelajar dan masih banyak lagi peristiwa serupa menambah rentetan panjang kegagalan pendidikan karakter.
Namun apakah semua itu semata-mata merupakan hanya disebabkan oleh lembaga pendidikan dalam masyarakat kita? “Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern yang disinyalir oleh Jacques Maritain. Kita percaya terlalu tinggi bahwa “segala sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran”. Ternyata tidak setiap hal bisa dipelajari hanya dengan cara pergi ke sekolah”.[1]Sekolah hanyalah merupakan salah satu institusi yang ikut serta ambil bagian dalam mengobati luka kemanusiaan. Dengan melihat peran sekolah yang tampaknya semakin rendah dalam kerangka proses membangun kebudayaan masyarakat, maka semua pihak layak untuk merefleksikan kembali bagaimana mereke melaksanakan tugas layanan dalam dunia pendidikan untuk anak-anak bangsa.

MENANAMKAN NILAI KEJUJURAN
Kemerosotan nilai kehidupan dalam masyarakat Indonesia semakin dalam. Kemerdekaan Indonesia yang sudah lebih dari 65 tahun diperoleh ternyata hanyalah kemerdekaan semu. Tampaknya proses kemerdekaan hanyalah peralihan penjajahan kekuasaan. Kemerdekaan hanya menjadi penyerahan penjajahan dari pihak luar ke pihak dalam yang sama – sama menjajah rakyat. Terbukti 65 tahun Indonesia merdeka, tetapi Tidak terwujud dalam kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya dirasakan oleh rakyat. Korupsi tak terkendali, penipuan terjadi setiap waktu. Pemimpin memeras rakyat, penguasa membohongi rakyatnya. Nilai-nilai keutamaan seperti kejujuran, keadilan, musyawarah, penghargaan terhadap hak asasi, kebebasan berekspresi, dan sebagainya telah ditinggalkan.
Berhadapan dengan realitas tersebut, mau tidak mau pendidikan harus mampu mengembalikan perannya sebagai wahana membangun karakter. Lembaga pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai keutamaan hidup agar generasi yang akan datang mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara maju sejahtera (SBY, 2045) dan negara super power (Yohanes Surya, 2030). Sekolah harus tetap menjadi locus educationis karakter, tempat pendidikan karakter. Sekolah harus tetap mampu menjadi wahana aktualisasi nilai-nilai keutamaan, sehingga peserta didik menjadi pribadi yang dewasa, berumbuh secara utuh. Melalui proses pendidikan yang berlangsung, peserta didik dapat belajar mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah mereka secara langsung. Praksis inilah yang menjadi acuan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.
Dari banyak nilai kehidupan yang urgen untuk diperhatikan dalam dunia pendidikan adalah penanaman nilai kejujuran. Berbicara tentang penananaman nilai-nilai kejujuran sebagai salah satu karakter bangsa memunculkan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Apakah penanaman nilai-nilai kejujuran dapat menjamin terwujudnya nilai-nilai  kejujuran dalam perbuatan seseorang? Bagaimanakah cara menanamkan nilai kejujuran tersebut dalam diri peserta didik?
Jujur sebagai mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Dalam kamus bahasa Indonesia kata jujur berarti: tidak bohong, lurus hati, dapat dipercaya kata-katanya, tidak khianat. Jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai dengan apa adanya, maka orang tersebut dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik dan sebagainya. Jadi jujur adalah suatu karakter yang berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya.
Proses menanamkan kejujuran dalam lingkungan sekolah dapat dilakukan melalui tahap-tahap berikut:
a.       Pengajaran / pengetahuan
Untuk dapat berbuat jujur, peserta didik harus mengetahui apa yang dimaksud dengan jujur, mengapa seseorang harus jujur, dan apa konsekuensi ketidak jujuran dalam hidup. Tidak jarang ada orang yang tidak mengerti apa itu jujur, tapi sesungguhnya ia sudah berbuat itu. Penanaman pemahaman akan nilai itu akan membentuk peserta didik dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakannya. Oleh karena itu setiap mata pelajaran harus mampu mengintegrasikan nilai tersebut dalam proses pembelajaran.

b.       Keteladanan
Keteladanan menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk menanamkan nilai tersebut. Guru, dalam bahasa Jawa berarti digugu lan ditiru, sesungguhnya menjadi jiwa dalam pendidikan karakter tersebut.  Konsistensi guru dalam menanamkan nilai kehidupan tidak sekedar melalui apa yang dikatakan tetapi terlihat nyata dalam setiap sikap dan tindakannya. Indikator adanya keteladanan tersebut adaah apakah terdapat model peran dalam insan pendidik.

c.       Menentukan prioritas
Sekolah wajib menjadikan kejujuran sebagai salah satu prioritas dan tuntutan dasar dalam pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu setiap insan yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah mesti menginternalisasikan nilai tersebut dalam hidup mereka. Tanpa adanya prioritas dalam pendidikan nilai, makan susah payah dalam menanamkan nilai tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.

d.       Praksis prioritas
Hal yang tidak kalah penting dari hal di atas adalah bukti pelaksanaan prioritas nilai kejujuran tersebut. Proses penanaman pengertian dilaksanakan, prioritas ditentukan dalam penyusunan visi, misi, dan program pendidikan, namun tanpa pelaksanaan semuanya menjadi tak berarti. Praksis priritas ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dibentuknya warung kejujuran, pengawasan ketat saat ulangan, membuat soal berbeda setiap siswa pada saat ulangan, adanya  penerapan yang seimbang angara hukuman dan penghargaan, dan lain sebagainya.

e.       Refleksi
Sokrates mengatakan:”hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati.” Refleksi di sini dimaksudkan untuk melihat kembali sejauh mana penanaman kejujuran pada diri peserta didik telah dilaksanan. Keberhasilan dan kegagalan dalam menanamkan nilai ini menjadi dasar untuk melakukan peningkatan dalam layanan kepada peserta didik. Maka penting melihat apakah setiap individu di lingkungan sekolah telah mampu mengimplementasikan nilai tersebut dalam kehidupan mereka masing-masing.
Penanaman nilai kejujuran  menuntut setiap individu yang ada di lingkungan sekolah dijiwai oleh semangat itu. Tidak ada aspek pun yang boleh diabaikan jika ingin membentuk peserta didik memiliki nilai tersebut. Oleh karena itu perlu setiap individu yang ada di dalamnya, termasuk orang tua peserta didi, memiliki peahaman yang sama tentang kejujuran tersebut. Pemahaman ini penting agar dalam pelaksanaannya setia pihak dapat saling mendukung dan bersinergi demi terwujudnya tujuan pendidikan karakter di sekolah.


Robertus S



[1] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 2007, hal 116

No comments:

RENUNGAN HARIAN 6 MEI 2023

DOA PEMBUKA Allah Bapa yang Mahakasih, kami mengucap syukur atas rahmat-Mu yang kami terima pada hari ini. Bukan saja Engkau membangunkan ...