PENDIDIKAN
KARAKTER
Berbicara tentang pendidikan karakter berarti kita berbicara tentang
pendidikan keutamaan hidup. Untuk memahami proses pendidikan itu, sepertinya
kita tidak dapat mengabaikan bagaimana Plato memusatkan perhatiannya pada
sebuah proses pendidikan yang diperuntukkan secara khusus bagi para calon
pemimpin pemerintahan. Mungkinkan keutamaan di ajarkan di lingkungan sekolah?
Belajar dari pengalaman Plato berhadapan dengan kematian gurunya, Sokrates.
“Jika keutamaan tidak dapat diajarkan, maka sia-sialah kematian Sokrates. Jika
keutamaan tak mampu menggerakkan atau mengubah pribadi lain, sia-sialah
Sokrates meneguk racun, sebab kebenaran akan musnah seiring dengan kepergiannya
di dunia ini”.
Belajar dari tragedi kematian Sokrates, ada dua hal yang dapat kita
dapatkan. Pertama, keteguhan sikap
dan prinsip hidup Sokrates berhadapan dengan tatanan hukum Athena. Kedua, tatanan hukum Athena yang
menghargai demokrasi ternyata telah mengorbankan seorang warga yang tidak
bersalah dengan telikung mayoritas suara para tiran.
Pengalaman inilah yang membuat Plato mencarai jalan bagaimana membentuk
sosok manusia yang memiliki sifat integral sehingga mampu menjadi pemimpin yang dilandasi nilai-nilai keutamaan. Sokrates
telah memberikan contoh bagaimana memperjuangkan nilai keutamaan hingga
bertaruh hidup. Bahkan seolah hidup tidak lebih berarti dari pada menegakkan
nilai.
URGENSI
PENDIDIKAN KARAKTER
Carut marut kehidupan Indonesia sekarang ini tak dapat dilepaskan dari
gagalnya pendidikan karakter. Pendidikan yang merupakan lembaga pembangunan
karakter bangsa terjebak dengan pembangunan ekonomi dan iptek. Lembaga
pendidikan terjebak lebih menjadi ajang kompetisi prestasi UN dari pada lahan
pembentukan karakter. Akibatnya, bangsa ini menjadi keropos, tanpa tiang
penyangga dan dasar yang kokoh.
Setiap hari media menyajikan berita yang memprihatinkan seperti
pelanggaran ham, korupsi meraja lela, penipuan, hak-hak rakyat terabaikan,
kekuasaan menjadi ajang memperkaya pemimpin. Penguasa mengambil kekayaan dan jaminan hidup rakyat dipandang sebagai
hal yang lumrah demi impasnya beaya kampanye yang sangat mahal. Inikah bangsa
yang kita harapkan? Akankah cita-cita para pendiri bangsa, sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945, menjadi sebuah asesoris bangsa yang besar ini?
Kurikulum berganti setiap pergantian menteri. Di sisi lain banyak
gedung-gedung sekolah roboh terabaikan tak terurus. Program perbaikan ruang
kelas tidak signifikan sehingga sekolah tidak lagi menjadi tempat yang kondusif
untuk proses pendidikan.
Setelah tahun 90-an, perekonomian rakyat semakin merosot. Reformasi,
yang merupakan masa bagi rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik
justru semakin menjauh dari harapan. Krisis ekonomi Indonesia yang sangat besar
memberi pengaruh yang besar pula terhadap perbaikan dunia pendidikan.
Harga-harga melambung tinggi, ekonomi raykat menjadi semakin sekarat, sementara
beaya pendidikan semakin tinggi membuat jumlah putus sekolah semakin besar.
Dengan demikian, peluang yang miskin semakin miskin menjadi sangat besar.
Sekolah yang idealnya menjadi tempat yang nyaman bagi peserta didik
untuk hidup dan memperoleh dasar hidup menjadi “jail in the morning”, semacam penjara di pagi hari. Banyak anak
takut pergi ke sekolah. Guru yang adalah orang tua kedua paserta didik di
lingkungan sekolah, namun seringkali justru guru memperlakukan peserta didik secara
semena-mena. Kasus guru melakukan tindakan asusila kepada peserta didik
merupakan berita yang sangat tragis. Maraknya tawuran di kalangan pelajar dan
masih banyak lagi peristiwa serupa menambah rentetan panjang kegagalan
pendidikan karakter.
Namun apakah semua itu semata-mata merupakan hanya disebabkan oleh
lembaga pendidikan dalam masyarakat kita? “Inilah salah satu kekeliruan dalam
pendidikan modern yang disinyalir oleh Jacques Maritain. Kita percaya terlalu
tinggi bahwa “segala sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran”. Ternyata
tidak setiap hal bisa dipelajari hanya dengan cara pergi ke sekolah”.[1]Sekolah
hanyalah merupakan salah satu institusi yang ikut serta ambil bagian dalam
mengobati luka kemanusiaan. Dengan melihat peran sekolah yang tampaknya semakin
rendah dalam kerangka proses membangun kebudayaan masyarakat, maka semua pihak
layak untuk merefleksikan kembali bagaimana mereke melaksanakan tugas layanan
dalam dunia pendidikan untuk anak-anak bangsa.
MENANAMKAN
NILAI KEJUJURAN
Kemerosotan nilai
kehidupan dalam masyarakat Indonesia semakin dalam. Kemerdekaan Indonesia yang
sudah lebih dari 65 tahun diperoleh ternyata hanyalah kemerdekaan semu.
Tampaknya proses kemerdekaan hanyalah peralihan
penjajahan kekuasaan. Kemerdekaan hanya menjadi penyerahan penjajahan dari
pihak luar ke pihak dalam yang sama – sama menjajah rakyat. Terbukti 65 tahun
Indonesia merdeka, tetapi Tidak terwujud dalam kesejahteraan dan keadilan yang
seharusnya dirasakan oleh rakyat. Korupsi tak terkendali, penipuan terjadi
setiap waktu. Pemimpin memeras rakyat, penguasa membohongi rakyatnya.
Nilai-nilai keutamaan seperti kejujuran, keadilan, musyawarah, penghargaan
terhadap hak asasi, kebebasan berekspresi, dan sebagainya telah ditinggalkan.
Berhadapan dengan realitas tersebut, mau tidak mau
pendidikan harus mampu mengembalikan perannya sebagai wahana membangun
karakter. Lembaga pendidikan harus mampu menanamkan nilai-nilai keutamaan hidup
agar generasi yang akan datang mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara
maju sejahtera (SBY, 2045) dan negara super power (Yohanes Surya, 2030).
Sekolah harus tetap menjadi locus educationis karakter, tempat pendidikan
karakter. Sekolah harus tetap mampu menjadi wahana aktualisasi nilai-nilai
keutamaan, sehingga peserta didik menjadi pribadi yang dewasa, berumbuh secara
utuh. Melalui proses pendidikan yang berlangsung, peserta didik dapat belajar
mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah mereka secara langsung. Praksis
inilah yang menjadi acuan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.
Dari banyak nilai
kehidupan yang urgen untuk diperhatikan dalam dunia pendidikan adalah penanaman
nilai kejujuran. Berbicara tentang penananaman
nilai-nilai kejujuran sebagai salah satu karakter bangsa memunculkan sebuah
pertanyaan yang menggelitik. Apakah penanaman nilai-nilai kejujuran dapat
menjamin terwujudnya nilai-nilai kejujuran dalam perbuatan seseorang?
Bagaimanakah cara menanamkan nilai kejujuran tersebut dalam diri peserta didik?
Jujur sebagai mengakui, berkata atau memberikan
suatu informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Dalam kamus bahasa
Indonesia kata jujur berarti: tidak bohong, lurus hati, dapat dipercaya
kata-katanya, tidak khianat. Jika seseorang berkata tidak sesuai dengan
kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai dengan apa adanya,
maka orang tersebut dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir,
berbohong, munafik dan sebagainya. Jadi jujur adalah suatu karakter yang
berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya.
Proses menanamkan kejujuran dalam lingkungan sekolah dapat dilakukan
melalui tahap-tahap berikut:
a.
Pengajaran / pengetahuan
Untuk dapat
berbuat jujur, peserta didik harus mengetahui apa yang dimaksud dengan jujur,
mengapa seseorang harus jujur, dan apa konsekuensi ketidak jujuran dalam hidup.
Tidak jarang ada orang yang tidak mengerti apa itu jujur, tapi sesungguhnya ia
sudah berbuat itu. Penanaman pemahaman akan nilai itu akan membentuk peserta
didik dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakannya. Oleh karena itu setiap
mata pelajaran harus mampu mengintegrasikan nilai tersebut dalam proses
pembelajaran.
b.
Keteladanan
Keteladanan
menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk menanamkan nilai tersebut.
Guru, dalam bahasa Jawa berarti digugu lan ditiru, sesungguhnya menjadi jiwa
dalam pendidikan karakter tersebut.
Konsistensi guru dalam menanamkan nilai kehidupan tidak sekedar melalui
apa yang dikatakan tetapi terlihat nyata dalam setiap sikap dan tindakannya.
Indikator adanya keteladanan tersebut adaah apakah terdapat model peran dalam
insan pendidik.
c.
Menentukan prioritas
Sekolah wajib
menjadikan kejujuran sebagai salah satu prioritas dan tuntutan dasar dalam
pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu setiap insan yang terlibat dalam
proses pendidikan di sekolah mesti menginternalisasikan nilai tersebut dalam
hidup mereka. Tanpa adanya prioritas dalam pendidikan nilai, makan susah payah
dalam menanamkan nilai tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.
d.
Praksis prioritas
Hal yang tidak
kalah penting dari hal di atas adalah bukti pelaksanaan prioritas nilai
kejujuran tersebut. Proses penanaman pengertian dilaksanakan, prioritas
ditentukan dalam penyusunan visi, misi, dan program pendidikan, namun tanpa pelaksanaan
semuanya menjadi tak berarti. Praksis priritas ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya dibentuknya warung kejujuran, pengawasan ketat saat
ulangan, membuat soal berbeda setiap siswa pada saat ulangan, adanya penerapan yang seimbang angara hukuman dan
penghargaan, dan lain sebagainya.
e.
Refleksi
Sokrates
mengatakan:”hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak
dihayati.” Refleksi di sini dimaksudkan untuk melihat kembali sejauh mana
penanaman kejujuran pada diri peserta didik telah dilaksanan. Keberhasilan dan
kegagalan dalam menanamkan nilai ini menjadi dasar untuk melakukan peningkatan
dalam layanan kepada peserta didik. Maka penting melihat apakah setiap individu
di lingkungan sekolah telah mampu mengimplementasikan nilai tersebut dalam
kehidupan mereka masing-masing.
Penanaman
nilai kejujuran menuntut setiap individu
yang ada di lingkungan sekolah dijiwai oleh semangat itu. Tidak ada aspek pun
yang boleh diabaikan jika ingin membentuk peserta didik memiliki nilai tersebut.
Oleh karena itu perlu setiap individu yang ada di dalamnya, termasuk orang tua
peserta didi, memiliki peahaman yang sama tentang kejujuran tersebut. Pemahaman
ini penting agar dalam pelaksanaannya setia pihak dapat saling mendukung dan
bersinergi demi terwujudnya tujuan pendidikan karakter di sekolah.
Robertus S
No comments:
Post a Comment