Ketika kami, siswa-siswi SMA Katolik Ricci 1, Jakarta berangkat menuju tempat live-in, Lereng Merapi di Wilayah Lor Senowo Paroki Sumber teringat kenangan masa lalu. Masa, ketika mengikuti kegiatan anak-anak live-in di Merapi. Beraneka kegiatan dibuat oleh tim EGSP untuk menanamkan nilai kehidupan kepada anak didik kami ketika itu. Satu memont tak terlupakan, namaku akan ditulis di mana?. Pertanyaan itu adalah bagian dari renungan, untuk tidak dikatakan kotbah, dari misa alam. (Misa alamnya sendiri sudah pasti sangat berkesan.) Perayaan ekaristi yang dilaksanakan sambil berkegiatan itu mengambil kuburan untuk membacakan kitab suci dan renungan. Pass… banget kata komentator idola cilik, RCTI.
Kuburan
adalah tempat yang seringkali disebut angker, sepi, menakutkan. Setidaknya
kuburan adalah tempat. Kuburan menjadi seperti tempat pembuangan, membuang
manusia yang sudah tidak bernyawa, meski “dibuang” dengan cara yang sangat
sakral; di doakan, dibawa pakai peti, diberi tanda agar tak terlupakan atau
sebagai tugu peringatan.
Kuburan tidak memandang manusia.
Si jahat-si baik, sijelek, si cantik, laki perempuan, tua muda semua masuk. Di
mana ada kuburan menolak orang mati? Yang ada adalah manusia-manusianya yang
hidup yang membuat sekat-sekat agar si kaya dapat tempat yang tinggi jauh dari
banjir, dan si miskin, jelek kalau perlu ditempat yang mudah terkena bajir,
becek gak bisa pakai ojek jauh dari jalan indah. Demikian pula, di kuburan
manapun memiliki satu kesamaan yang kiranya pasti, yakni setiap selesai
menguburkan jenasah dipasanglah tanda ada disebut nisan.
Teruskan
dan kembangkan model tersebut. Semoga anak-anakku sanggup menorehkan nama-nama
mereka di dala lembaran sejarah bangsa Indonesia.
Robert, Jakarta, 2007
No comments:
Post a Comment